Gedung Mewah DPR dan Budaya Profesionalisme Kerja*

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini kembali menuntut haknya. Setelah selesai dengan rencana pembangun rumah aspirasi bagi rakyat. Kini anggota dewan kembali meminta haknya yang lain. Disini hak yang mereka minta berbeda dengan hak yang selalu diminta oleh rakyat. Rakyat biasanya meminta untuk memperoleh penghidupan yang layak dari negara. Namun anggota dewan meminta haknya untuk memperoleh sebuah gedung mewah untuk tempat mereka bekerja. Sebuah gedung super mewah yang nilainya hampir Rp1,6 triliun.

Lagi-lagi kelayakan anggota dewan untuk menerima gedung baru yang super mewah tersebut dipertanyakan berbagai kalangan. Sudahkah para anggota dewan layak dan pantas menerima itu semua? Jika dibandingkan dengan budaya kerja anggota dewan selama ini yang kerjanya selalu bolong dan tertidur di waktu rapat sepertinya tidak layak untuk meminta gedung baru yang super mewah. Sepertinya anggota dewan lebih baik diberikan gedung baru yang sesuai dengan nilai hasil kerja mereka.

Langkanya Budaya Profesionalisme Kerja


Budaya kerja anggota dewan yang selalu bolong dan tidur di waktu rapat menunjukkan ketidak bertanggungjawaban anggota dewan. Kita dapat melihat dengan jelas, adanya ketidak sungguhan anggota dewan yang terhormat untuk melakukan tugasnya sebagai wakil rakyat. Lihat saja, target pembahasan 70 RUU, yang selesai baru dibawah 10 RUU. Hal ini menunjukkan tidak adanya budaya profesionalisme kerja para anggota dewan. Sepertinya untuk mewujudkan budaya profesionalisme kerja di negara kita ini sangat mahal harganya. Bukan hanya mahal tetapi budaya profesionalisme kerja sudah seperti barang langka, barang yang perlu dilestarikan keberadaannya.

Budaya profesionalisme kerja tidak lagi datang dari rasa tanggung jawab melainkan datang dari hasil suguhan berbagai kenikmatan (mulai dari makanan yang bergiji, fasilitas olah raga dan ruang yang mewah). Budaya profesionalisme kerja para dewan mungkin akan tercapai apabila para anggota dewan diberikan segala kenikmatan fasilitas yang mereka inginkan. Lihat saja keterangan salah satu anggota badan legislatif ini.

Menurut Pius gedung DPR yang ada saat tidak memadai lagi untuk digunakan, mengingat ukurannya yang terlalu kecil dan tidak nyaman kerena telah sesak menampung anggota dewan beserta stafnya. Selain itu pius juga mengatakan bahwa pembuatan ruang fitnes juga akan diadakan. Kasian mereka yang bekerja sampai larut malam. Sudah kerja sampai malam, makanannya juga kadang kurang bergizi. Nanti kalau tidak berolah raga, bisa-bisa mereka pendek umur.
http://www.mediaindonesia.com/

Hal ini menunjukkan sebuah tradisi yang selalu menuntut hak terlebih dahulu dan menomor duakan kewajibannya. Serta gambaran yang menunjukkan sebuah pola pikir yang selalu mendahulukan kepentingan kelompok di atas kepentingan rakyat kecil. Setiap badan berlomba-lomba memperebutkan “kue” pembangunan fisik yang ada. Lagi-lagi jelas terlihat anggota dewan terhormat sangat deman yang namanya pembangunan fisik. Kita tidak pernah melihat anggota dewan tertarik untuk melakukan pembangunan di sektor sumber daya manusia (SDM). Jarang sekali kita melihat ada program anggota dewan yang mencanangkan human development atau pun community development sebagai salah satu rancangan agenda kerjanya. Melainkan anggota dewan selalu dicakoki untuk melakukan sebuah rancangan pembangunan fisik.

Statement yang Melukai Hati Rakyat

Apabila kita tinjau kembali perkataan anggota dewan di atas yang mengatakan bahwa makanan anggota dewan kadang kurang bergiji. Sungguh sakit hati rakyat mendengarkannya bukan hanya rakyat, saya sendiri begitu sakit mendengarkannya. Ini menunjukkan ketidak pekaan anggota dewan terhadap apa yang dialami rakyat saat ini.

Bagaimana dengan rakyat kecil yang ada di negara kita ini. Sudah kah mereka memakan makanan yang bergiji seperti yang dimakan para anggota dewan kita. Sudah kah mereka memperoleh penghidupan yang layak. Jangan katakan makanan anggota dewan kurang bergiji karena itu bisa menjadi bumerang bagi anggota dewan sendiri.

Jika kita bandingakan makanan anggota dewan dengan makanan rakyat kecil, mungkin kita tidak dapat lagi melihat perbandingannya. Sungguh ngiris hati rakyat jika harus melihat perbandingan makanan yang mereka makan dengan makanan anggota dewan.

Namun meskipun demikian hal itu sangat wajar jika makanan dewan kita lebih bergiji dan enak dibandingkan makanan rakyat kecil kita. Sebab para anggota dewan adalah orang-orang yang terpilih dari sekian juta rakyat Indonesia. Demikian juga sudah sewajarnya jika anggota dewan meminta sebuah tempat kerja yang mewah untuk mereka tempati. Mengingat mereka adalah orang-orang terpilih maka harus disiapkan tempat yang sepadan dengan jabatan mereka. Sehingga para anggota dewan dapat bekerja dengan nyaman di ruang kerjanya.

Andaikan pembangunan gedung DPR super mewah itu dilakukan. Adakah yang menjamin profesionalisme kerja dari anggota dewan akan tercapai. Mari kita sejenak kilas balik melihat kembali sifat ( tingkah laku ) dan mental ( rasa tanggung jawab kerja ) para anggota dewan kita. Sepertinya jika kita melihat dan kita evaluasi kembali, rasanya yang muncul dari pikiran kita adalah rasa skeptis yang sangat tinggi. Pencapaian keprofesionalan kerja anggota dewan sepertinya masih jauh dari harapan kita.

Pembangunan gedung DPR yang super mewah itu sepertinya tidak menjamin tercapainya profesionalisme kerja para anggota dewan kita. Sepertinya pembangunan yang dibutuhkan para anggota dewan saat ini adalah pembangunan jiwa dan mental. Sebagimana yang dikatakan Sebastian Salang (Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen).

Perkataan/ komentar Sebastian Salang tersebut bukanlah asal-asalan atau asbun ( asal ngomong). Melainkan, dia sudah tahu bagaimana hasil kerja anggota dewan selama ini. Bukan hanya dia yang tahu, melainkan seluruh rakyat Indonesia telah mengetahui bagimana hasil kerja anggota dewan kita. Anggota dewan yang hasil kerjanya masih tetap menghasilkan rapot merah.
*Radinton Malau. Pernah diterbitkan di Harian Analisa Medan

0 Comments